Dalam beberapa tahun terakhir, live streaming telah menjadi salah satu tren paling dominan didunia digital. Dari hiburan, gaming, edukasi, hingga live commerce, semua bergerak ke arah siaran langsung yang interaktif. Melalui live stream, individu dan bisnis bisa berinteraksi secara real-time dengan audiens memberikan rasa kedekatan yang sulit ditandingi oleh media lain.
Namun kini, sebuah perubahan besar sedang terjadi. Kecerdasan buatan (AI) mulai mengambil peran yang sebelumnya dipegang oleh manusia. Dari chatbot pintar yang merespons komentar penonton, hingga host virtual yang berbicara dan berinteraksi layaknya manusia sungguhan, AI mengubah cara kita menonton, berkomunikasi, dan berbelanja secara daring.
Nah tapi apakah AI akan menggantikan manusia sepenuhnya di dunia live streaming? Atau justru, kolaborasi antara keduanya yang akan mendefinisikan masa depan interaksi digital?
Ketika Interaksi Mulai Digerakkan oleh Algoritma
Bayangkan kamu sedang menonton siaran langsung penjualan di TikTok Shop. Seorang host dengan senyum ramah menjelaskan detail produk, menjawab komentar, bahkan menirukan gaya bicara penonton. Semua terasa natural, sampai kamu sadar, host itu… bukan manusia.
Selamat datang di era baru interaksi digital, di mana kecerdasan buatan (AI) mulai menempati ruang yang dulunya eksklusif milik manusia. Live streaming, yang awalnya lahir untuk menghadirkan real-time connection antara brand dan audiens, kini berubah menjadi panggung eksperimen. Teknologi seperti AI digital human, voice synthesis, hingga emotion simulation memungkinkan brand untuk menghadirkan host virtual yang mampu berbicara, bereaksi, dan berjualan tanpa lelah.
Tapi pertanyaannya: apakah AI benar-benar bisa menggantikan peran manusia dalam menciptakan koneksi?
Peran AI dalam Transformasi Live Streaming
Dua tahun terakhir, platform e-commerce besar seperti Shopee, TikTok, dan Lazada mulai menguji AI host dalam kampanye live mereka. Shopee memperkenalkan fitur AI Presenter untuk membantu menayangkan live di luar jam sibuk. Dengan model 3D realistik, AI host mampu membaca skrip otomatis dan menampilkan produk tanpa jeda. Lazada Live memanfaatkan AI voice generator untuk menjaga interaksi tetap berjalan bahkan saat host utama istirahat.
Sementara TikTok melangkah lebih jauh: mereka mengembangkan AI influencer internal yang dirancang meniru kepribadian influencer manusia, dari gaya berbicara hingga ekspresi wajah. Efeknya? Operasional jadi efisien, biaya host menurun, dan jam tayang bisa diperpanjang hingga 24 jam penuh. Namun, data dari Insider Intelligence 2024 menunjukkan bahwa 70% pengguna masih lebih percaya pada live host manusia untuk keputusan pembelian, terutama pada kategori produk yang membutuhkan emotional reasoning seperti fashion, skincare, dan lifestyle. Dengan kata lain, AI mungkin bisa bicara, tapi belum tentu bisa “nyentuh”.
Daya Tarik yang Tak Tergantikan: Human Touch
Salah satu alasan live streaming menjadi strategi pemasaran paling efektif adalah human connection. Ketika seorang host tertawa, salah sebut merek, atau spontan bereaksi terhadap komentar penonton, semua itu menciptakan momen organik yang sulit direplikasi oleh sistem AI. Penonton tidak hanya membeli produk, tetapi juga percaya pada keaslian yang ditampilkan host. Riset Think with Google bahkan mencatat bahwa 82% konsumen Gen Z dan milenial lebih suka membeli dari brand yang terasa personal dan autentik.
Namun di sisi lain, brand kini menghadapi tekanan besar: Jam tayang live yang panjang (12–24 jam), kebutuhan untuk menjangkau audiens lintas zona waktu, biaya SDM dan training yang tinggi. Dan di sinilah AI hadir bukan sebagai pengganti, tapi sebagai mitra digital baru.
Dari China ke Indonesia: Tren Global yang Mulai Bergeser
China menjadi pionir dari tren AI live host. Platform seperti Taobao Live dan Douyin (TikTok versi China) sudah memanfaatkan AI anchor sejak 2021. Salah satu brand kosmetik di sana bahkan mengaku berhasil menghemat 90% biaya tenaga kerja setelah mengganti shift malam dengan host AI. Fenomena itu mulai merembet ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
TikTok Indonesia dilaporkan tengah menguji sistem AI-driven script automation untuk menampilkan rekomendasi produk secara real time, disesuaikan dengan pertanyaan yang muncul di kolom komentar. Namun, adopsi AI di Indonesia berjalan lebih hati-hati. Sebagian besar brand masih memadukan AI untuk efisiensi operasional, sementara interaksi langsung tetap diserahkan ke host manusia. Dan pola kolaboratif inilah yang menarik: manusia + AI, bukan manusia vs AI.
Bagaimana AI Mengubah Dunia Live Streaming
AI tidak hanya hadir sebagai tren teknologi baru, tapi sebagai mesin yang benar-benar mengubah fondasi dari industri live streaming itu sendiri. Berikut beberapa cara utama bagaimana AI membentuk ulang dunia siaran langsung:
1. Penyaringan Konten Otomatis
Salah satu tantangan terbesar dalam live streaming adalah menjaga agar konten tetap aman dan sesuai kebijakan platform. Dengan teknologi machine learning, AI kini mampu mendeteksi dan menyaring konten yang melanggar aturan secara otomatis—mulai dari ujaran kebencian, kekerasan, hingga pelanggaran hak cipta.
Fitur ini membuat lingkungan live streaming menjadi lebih aman, baik bagi kreator maupun audiens. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Twitch telah mengandalkan AI sebagai sistem moderasi utama, menggantikan proses manual yang lambat dan mahal.
2. Peningkatan Kualitas Visual dan Audio
Teknologi AI kini bisa meningkatkan kualitas video secara otomatis. Dengan fitur seperti auto enhancement, noise reduction, dan low-light optimization, bahkan streamer dengan peralatan sederhana bisa menghasilkan tayangan yang jernih dan profesional.
Bayangkan seorang kreator konten dengan kamera standar dan pencahayaan seadanya, AI mampu menyesuaikan exposure, memperhalus warna kulit, dan bahkan mengurangi lag saat koneksi tidak stabil. Semua dilakukan secara real-time, tanpa memerlukan tim produksi besar.
3. Interaksi Chat yang Lebih Cerdas
Chatbots berbasis AI telah menjadi asisten digital bagi streamer. Mereka dapat merespons pertanyaan penonton, menerjemahkan komentar dalam berbagai bahasa secara instan, bahkan memberikan rekomendasi produk atau konten berikutnya berdasarkan perilaku pengguna.
Di sisi bisnis, chatbot juga berperan penting dalam meningkatkan conversion rate. Misalnya, saat sesi live commerce, AI dapat secara otomatis menampilkan link produk, menjawab pertanyaan seputar harga, hingga mengingatkan stok yang hampir habis. Semua dilakukan tanpa intervensi manusia.
4. Analisis Data Real-Time
AI bukan hanya memproses data, tapi juga memahaminya. Dengan kemampuan analitik real-time, platform dapat mengukur tingkat keterlibatan audiens, lama menonton, hingga jenis konten yang paling disukai.
Bagi kreator dan brand, ini berarti mereka bisa mengambil keputusan berbasis data (data-driven decision). Misalnya, mengetahui kapan waktu terbaik untuk siaran, jenis produk yang paling diminati, dan bahkan menentukan gaya komunikasi yang paling efektif untuk target audiens tertentu.
5. Personalisasi Pengalaman Penonton
Dengan analitik berbasis AI, pengalaman menonton kini bisa disesuaikan secara personal. Algoritma dapat merekomendasikan live stream yang sesuai dengan minat pengguna, menciptakan pengalaman yang relevan dan membuat mereka betah berlama-lama di platform.
Dari sisi bisnis, hal ini membuka peluang baru untuk meningkatkan retention dan loyalitas pelanggan. Semakin sering pengguna terpapar konten yang sesuai minat mereka, semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat dan bertransaksi.
Studi Kasus: Eksperimen AI Live Commerce di Indonesia
Tren AI dalam live streaming tidak hanya terjadi di luar negeri. Indonesia pun mulai ikut bereksperimen, meski dengan berbagai dinamika dan reaksi publik yang menarik. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah sesi live commerce di TikTok oleh akun Gudangjajan, yang menampilkan host AI buatan perusahaan lokal Avatara Labs. Dalam siaran tersebut, host AI menjelaskan produk camilan, membaca komentar penonton, bahkan menjawab pertanyaan secara real-time.
Namun alih-alih disambut antusias, siaran ini justru menuai kontroversi. Komentar seperti “Jangan belanja dari sesi live AI, dukung manusia yang bekerja keras” membanjiri kolom komentar. Video tersebut viral dengan lebih dari 4,7 juta views, 153 ribu likes, dan 4.400 komentar.
Publik Belum Siap Menerima Host AI
Reaksi negatif ini menunjukkan bahwa meski teknologinya canggih, penerimaan sosial terhadap AI masih menjadi tantangan besar. Sofian Hadiwijaya, CTO Avatara Labs, mengakui bahwa sesi tersebut hanya menarik sekitar 150 penonton dan bahkan harus dihentikan karena banyaknya laporan spam.
“Jika kami lanjutkan, akunnya bisa diblokir,” ujarnya kepada Tech in Asia.
Faktor lain yang menjadi penghambat adalah biaya produksi. Menggunakan host AI ternyata tidak murah. Tarif host AI Avatara mencapai sekitar Rp100.000 per jam, sedikit lebih tinggi dari rata-rata host manusia yang berkisar antara Rp80.000–Rp100.000 per jam. Selain itu, live di TikTok hanya bisa dilakukan lewat PC, sehingga setiap sesi membutuhkan satu perangkat terpisah.
AI vs Manusia: Siapa Lebih Efektif?
Social Bread, perusahaan yang melakukan uji coba serupa, menemukan hasil yang menarik. Dalam satu bulan pengujian, streamer manusia mengungguli AI hingga lebih dari 50% dalam penjualan. Namun, setelah analisis mendalam, mereka menemukan sweet spot: AI cocok untuk shift malam (00.00–06.00), sementara manusia tetap unggul di jam prime time (12.00–21.00). Strategi hybrid ini terbukti lebih efisien. AI membantu menekan biaya operasional saat jam rendah penonton, sementara manusia menjaga kedekatan emosional di jam puncak.
Kolaborasi: Kunci Penerimaan Publik
Para ahli menyarankan pendekatan kolaboratif antara manusia dan AI. Streamer manusia bisa mempersiapkan audiens dan menjelaskan bahwa setelah jam tertentu, host AI akan melanjutkan siaran. Pendekatan ini membuat transisi terasa alami dan membantu audiens beradaptasi tanpa merasa “ditinggalkan” oleh sosok manusia di balik layar.
Dimensi Sosial dan Etika: Ketika Teknologi Menyentuh Ranah Emosi
Perubahan yang dibawa AI dalam live streaming tidak hanya berdampak teknis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan sosial. Penonton tidak hanya datang untuk mencari informasi atau diskon, tetapi juga untuk merasa terhubung secara emosional dengan sosok di layar. Dalam konteks ini, human touch menjadi elemen yang tak tergantikan.
AI, meskipun dapat berbicara dengan lancar dan merespons cepat, masih kesulitan meniru improvisasi, empati, dan spontanitas manusia. Bahkan dengan teknologi deep learning sekalipun, AI belum mampu menciptakan rasa “nyata” dalam komunikasi dua arah.
“The Medium is the Message”
Marshall McLuhan, seorang filsuf komunikasi, pernah mengatakan: “The medium is the message.” Artinya, media yang digunakan akan memengaruhi makna dari pesan yang disampaikan. Ketika perusahaan memilih menggunakan AI sebagai medium utama dalam berkomunikasi, makna yang diterima audiens pun berubah. Komunikasi yang dulunya personal dan humanis kini terasa otomatis dan impersonal.
Hasilnya, meskipun konsumen mungkin tetap membeli produk, kedekatan emosional dengan brand bisa menurun. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menggerus loyalitas pelanggan dan mengubah citra brand itu sendiri.
Ancaman bagi Pekerja Kreatif
Dampak lainnya adalah ancaman terhadap pekerjaan manusia di industri digital. Selama ini, profesi seperti host live streaming menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi banyak anak muda, terutama Gen Z. Jika perusahaan semakin bergantung pada AI, maka peluang kerja manusia bisa semakin menyempit. Hal ini menimbulkan dilema etis: apakah teknologi seharusnya menggantikan manusia, atau justru membantu mereka menjadi lebih produktif?
Masa Depan Live Streaming: Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Melihat dinamika tersebut, jelas bahwa AI dan manusia seharusnya tidak diposisikan sebagai pesaing, melainkan sebagai mitra kolaboratif. AI dapat mengambil alih tugas-tugas repetitif seperti menjawab pertanyaan dasar, mengatur jadwal, dan memproses data penjualan, sementara manusia fokus pada membangun koneksi emosional, storytelling, dan kreativitas yang sulit ditiru mesin.
Membangun Model Hybrid yang Efektif
Model hybrid manusia dan AI memungkinkan efisiensi maksimal. Misalnya, AI bisa bertugas memantau data performa streaming dan memberikan rekomendasi waktu siaran terbaik, sementara host manusia mengeksekusi strategi itu dengan gaya personal yang engaging. Dengan cara ini, AI menjadi asisten pintar, bukan pengganti. Kreator bisa lebih fokus pada aspek kreatif dan strategis tanpa kehilangan sentuhan manusiawi yang menjadi daya tarik utama live streaming.
Etika dan Regulasi: Pilar Masa Depan
Tantangan berikutnya adalah menciptakan regulasi dan etika yang jelas untuk penggunaan AI dalam live streaming. Isu seperti deepfake, privasi data, dan transparansi identitas harus menjadi perhatian serius. Penonton berhak tahu apakah mereka sedang berinteraksi dengan manusia atau AI, dan brand perlu memastikan penggunaan teknologi ini tetap menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Masa Depan Interaksi Digital Ada di Kolaborasi
AI telah membawa revolusi besar dalam dunia live streaming yaitu meningkatkan efisiensi, kualitas, dan jangkauan interaksi digital. Namun di sisi lain, teknologi ini juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang nilai kemanusiaan, etika, dan makna koneksi sosial. Jawabannya bukan pada menggantikan manusia, tetapi membangun kolaborasi cerdas antara manusia dan AI. Live streaming masa depan bukan lagi soal siapa yang lebih unggul, AI atau manusia tetapi tentang bagaimana keduanya bisa bekerja sama untuk menciptakan pengalaman digital yang interaktif, autentik, dan bermakna. Karena pada akhirnya, teknologi boleh jadi semakin canggih, tapi manusia tetap menjadi jiwa dari setiap interaksi digital.
